DEMOKRASI PENDIDIKAN DI INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
Pendidikan sejatinya adalah untuk
membangun dan mengembangkan potensi manusia agar memiliki karakter, integritas,
dan kompetensi yang bermakna dalam kehidupan.Namun yang terjadi selama ini
pendidikan masih terjebak pada pandangan dan praktek yang tidak membangun ruang
pembelajaran yang bisa memperkaya nilai-nilai kemanusiaan, keluhuran,
kejujuran, dan keadaban.Dengan demikian, sistem dan praktek pendidikan di
negeri kita untuk mencerdaskan kehidupan bangsa belum sepenuhnya berhasil dalam
membangun karakter bangsa dan kemuliaan hidup.
Pendidikan dewasa ini harus bisa
berfungsi ikut membangun kapasitas bangsa sebagai manusia pembelajar, sehingga
bisa andal dan percaya diri dalam percaturan global sekarang serta rancangan ke
masa depan. Dalam konteks ini, bukan hanya kukuh dan lumintu dalam visi serta
cita etis pendidikan yang humanis dan religius, melainkan juga pendidikan
mempunyai daya dan tata kelola untuk memperkaya kehidupan yang demokratis.
Pengembangan nilai-nilai
demokratis di dekolah juga perlu diterapkan untuk menghadapi era globalisasi
yang kini diyakini akan menghadirkan banyak perubahan global seiring dengan
akselerasi keluar masuknya berbagai kultur dan peradaban baru dari berbagai
bangsa di dunia. Itu artinya, dunia pendidikan dalam mencetak sumberdaya
manusia yang bermutu dan profesional harus menyiapkan generasi yang demokratis,
sehingga memiliki resistence yang kokoh di tengah-tengah konflik peradaban.
Langkah konkret yang menarik untuk
direalisasi bersama, terutama oleh insan pendidik dan pihak-pihak yang
berkecimpung di dunia pendidikan, adalah menciptakan ruang hidup dan praktek
pendidikan sebagai sebuah kehidupan yang nyata.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Demokrasi Pendidikan.
Filsafat
pendidikan pada dasarnya menggunakan cara kerja filsafat dan akan menggunakan
hasil-hasil dari filsafat, yaitu berupa hasil pemikiran manusia tentang
realitas, pengetahuan, dan nilai. Demokrasi
pendidikan adalah gagasan atas pandangan hidup yang mengutamakan hak dan
kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara dalam
berlangsungnya proses pendidikan.
Sedangkan di negara-negara yang
demokratik, diharapkan sistem pendidikan pun harus demokratik. Pendidikan yang
demokratik adalah pendidikan yang memberikan kesempatan yang sama kepada setiap
anak untuk mendapat pendidikan di sekolah sesuai dengan kemampuannya. Dengan
demikian pendidikan sangat penting bagi seluruh bangsa tak terkecuali bagi
orang-orang yang kurang mampu melanjutkan ke tingkat sekolah yang lebih tinggi.
Dalam konteks pendidikan demokrasi, pandangan tentang
demokrasi dari filsuf pendidikan Amerika Serikat, John Dewey, dapat dijadikan
rujukan yang relevan. Menurut dia, demokrasi bukan sekadar bentuk suatu
pemerintahan, tetapi lebih sebagai pola hidup bersama (associated living) dan hubungan dari pengalaman berkomunikasi. Oleh
karena itu, kian banyak orang terlibat dalam kepentingan-kepentingan orang lain
yang berbeda, mereka akan kian banyak merujuk segala perbuatannya kepada
kepentingan orang banyak, kian majemuk, dan, masyarakat itu akan semakin
demokratis. Ide John Dewey tentang demokrasi yang lebih mengutamakan
kepentingan umum di atas kepentingan pribadi dan kelompok tampak sesuai
realitas kultural dan sosial Indonesia yang majemuk.[1]
2.
Demokrasi Pendidikan Di Indonesia.
Pengakuan terhadap hak asasi setiap
individu anak bangsa untuk menuntut pendidikan pada dasarnya telah mendapatkan
pengakuan secara legal sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar
1945 pasal 31 (1) yang berbunyi bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan
pendidikan. Oleh karena itu seluruh komponen bangsa yang mencakupi orang tua,
masyarakat, dan pemerintah memiliki kewajiban dalam bertanggung jawab untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan. Mengenai tanggung jawab
pemerintah secara tegas telah dicantumkan di dalam Undang-Undang Dasar 1945
pasal 31 ayat (3) yang menyatakan bahwa pemerintah mengusahakan dan
menye-lenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan
dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa
yang diatur dengan undang-undang.[2]
Untuk menumbuhkan budaya demokrasi,
dapat melalui proses pendidikan. Pendidikan demokrasi diartikan sebagai upaya sistematis
yang dilakukan Negara dan masyarakat untuk memfasilitasi individu warga
negaranya agar memahami, menghayati, mengamalkan dan mengembangkan konsep,
prinsip dan nilai demokrasi sesuai dengan status dan perannya dalam masyarakat.
Demokrasi memang tidak diwarisi, tetapi ditangkap dan
dicerna melalui proses belajar. Oleh karena itu untuk memahaminya diperlukan
suatu proses pendidikan demokrasi. Pendidikan demokrasi dalam berbagai
konteks, dalam hal ini untuk pendidikan formal (di sekolah dan perguruan
tinggi), non formal (pendidikan di luar sekolah dan informal (pergaulan di
rumah dan masyarakat kultural) bertujuan untuk membangun cita – cita, nilai,
konsep, prinsip, sikap, dan keterampilan demokrasi dalam berbagai konteks.
Namun upaya untuk menuju kehidupan demokrasi yang ideal
tidaklah mudah. Proses mengimplementasikan demokrasi inilah sebagai sistem
politik dalam kehidupan bernegara. Pendidikan demokrasi bertujuan menghasilkan demokrasi yang
mengaju pada ciri – ciri sebagai berikut :
a. Proses yang tak pernah selesai, dalam arti bertahap,
berkesinambungan terus – menerus.
b. Bersifat evolusioner dalam arti dilakukan secara perlahan.
c. Perubahan bersifat damai dalam arti tanpa kekerasan (
anarkis)
Di negara berkembang pendidikan demokrasi sering dianggap “taken for granted or ignored”.
Sesungguhnya, dapat ditegaskan pendidikan demokrasi seyogyanya ditempatkan
sebagai bagian integral dari pendidikan secara keseluruhan. Oleh karena itu pendidikan
demokrasi perlu dilihat dalam dua setting besar, yakni school based democracy education, yakni pendidikan demokrasi dalam
konteks atau berbasis pendidikan formal dan society
based democracy education, pendidikan demokrasi dalam konteks atau yang berbasis
kehidupan masyarakat.
Secara instrumental, pendidikan demokrasi di Indonesia sudah
digariskan dalam berbagai peraturan perundangan. Misalnya, dalam usulan BP KNIP
tanggal 29 Desember 1945 dikemukakan bahwa “pendidikan dan pengajaran harus
menjadi siswa-siswi warganegara yang mempunyai rasa tanggung jawab”, yang
kemudian oleh kementerian PKK (pendidikan pengajaran dan kebudayaan) dirumuskan
dalam tujuan pendidikan : “untuk mendidik warga negara yang sejati yang
bersedia menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk Negara dan masyarakat”.[3]
Khusus mengenai konsep dan strategi pendidikan Demokrasi
dirumuskan dan disimpulkan bahwa secara konseptual pendidikan untuk
Kewarganegaraan yang demokratis diterima sebagai dasar pertimbangan utama bagi
pendidikan di Indonesia. Ikhtiar pendidikan ini pada dasarnya harus ditujukan
untuk mengembangkan kecerdasan spiritual, rasional, emosional, dan sosial warga
negara baik sebagai aktor sosial maupun sebagai pemimpin pada hari ini dan hari
esok. Sedangkan rumusan mengenai karakter utama warga negara yang cerdas dan
baik adalah sebagai warga negara Indonesia.
Yang cerdas dan baik itu adalah mereka yang secara ajek
memelihara dan mengembangkan cita-cita dan nilai demokrasi sesuai perkembangan
zaman, dan secara efektif dan langgeng menangani dan mengelola krisis yang
selalu muncul untuk kemaslahatan masyarakat Indonesia sebagai bagian integral
dari masyarakat global yang damai dan sejahtera didasarkan pada keadilan. Dari
dua konsep dasar tersebut dapat dikemukakan bahwa paradigma pendidikan
demokrasi yang digagaskan adalah pendidikan demokrasi yang bersifat
multidimensional atau multidimensional atau
dikenal dengan konsep citizenship
education. Sifat multidimensionalitasnya itu terletak dalam asumtif positif
dan pragmatiknya yang menyangkut individu, negara, dan masyarakat global.
Menata demokrasi melalui pendidikan masih belum
terinstitusionalisasi secara sistematis di Indonesia. Padahal, di negara-negara
maju, terutama Amerika Serikat dan di Eropa, pendidikan demokrasi adalah bagian
tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional mereka. Sebagai output dari pendidikan yang demokratis,
kedewasaan warga negara dalam berdemokrasi di Barat bisa menjadi referensi
adanya keterkaitan antara sikap-sikap demokratis warga negara dan program
pendidikan demokrasi, populer dengan sebutan civic education (pendidikan kewarganegaraan), yang ditempuh melalui
jalur pendidikan formal.
3.
Pengembangan Nilai-Nilai Demokrasi Di Sekolah.
Membangun pribadi yang demokratis merupakan salah satu
fungsi pendidikan nasional seperti yang tercantum dalam pasal 3 UU Nomor
20/2003 tentang Sisdiknas. Di tengah-tengah gencarnya tuntutan dan suara untuk
membangun Indonesia baru yang lebih demokratis di bawah pemerintahan yang
bersih, berwibawa dan reformatif justru banyak politisi yang berkarakter
oportunis, arogan dan mau menang sendiri, yang sangat bertentangan dengan
prinsip-prinsip demokrasi yang mengembangkan nilai kebebasan, kesamaan,
persaudaraan, kejujuran, dan keadilan. Padahal harus diakui, mereka memiliki
kualifikasi pendidikan formal yang tinggi.Fenomena ini tentu sangat menarik
untuk disimak, sebab ada kecenderungan asumsi, tinggi-rendahnya tingkat
pendidikan kurang memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tumbuhnya iklim
demokrasi yang sehat.[4]
Diperlukan upaya agar dunia pendidikan mampu menaburkan
benih-benih demokrasi kepada peserta didik dan melahirkan demokrat-demokrat
yang ulung, cerdas, dan andal. Beratnya beban kurikulum yang harus
dituntaskan telah membuat proses belajar mengajar menjadi kehilangan ruang
berdiskusi, berdialog dan berdebat, guru menjadi satu-satunya sumber belajar.
Akibatnya setelah lulus mereka menjadi asing di tengah-tengah rakyat. Tidak
mungkin out-put dari dunia pendidikan mampu menginternalisasi dan mengapresiasi
nilai-nilai demokrasi kalau otak dan emosi mereka dijauhkan dari ruang
berdialog. Mustahil mereka bisa menghargai pendapat sebagai salah satu esensi
demokrasi kalau iklim belajarnya berlangsung monoton.Sehingga dunia pendidikan
perlu diberi ruang yang cukup untuk membangun budaya demokrasi bagi peserta
didik, sehingga kelak mereka sanggup menjadi demokrat sejati yang rendah hati,
berjiwa besar, toleran, memiliki landasan etik moral dan spiritual. Apalagi di
era millennium ketiga yang kini diyakini akan menghadirkan banyak perubahan
global seiring dengan akselerasi keluar masuknya berbagai kultur dan peradaban
baru dari berbagai bangsa di dunia, ranah demokrasi tentu akan menjadi penentu
citra, kredibilitas, dan akseptibilitas bangsa kita sebagai salah satu komunitas
masyarakat dunia. Itu artinya, dunia pendidikan dalam mencetak sumberdaya
manusia yang bermutu dan profesional harus menyiapkan generasi yang demokratis,
sehingga memiliki resistence yang kokoh di tengah-tengah konflik peradaban.
Selain pengembangan nilai-nilai demokrasi dalam pembentukan
mental peserta didik sesuai nilai-nilai demokrasi, demokrasi di sekolah juga
mencakup proses pembelajaran untuk meningkatkan kualitas hasil belajar. Hal ini
diantaranya adalah untuk menyikapi persoalan yang tentunya tekait dengan
nilai-nilai demokrasi dalam hal ilmu pengetahuan, mengenai industri saat ini
yang sering menimbulkan pencemaran lingkungan.Banyak pihak industri yang selalu
berhadapan dengan kelompok-kelompok humanis yang anti pencemaran dan
pengrusakan lingkungan. sehingga pendidikan harus merancang perubahan-perubahan
ke depan yang tetap ditandai dengan kemajuan sains dan teknologi, dengan
peningkatan solidaritas internasional, dan keseimbangan komitmen antara
produktivitas, kemajuan sains dan teknologi, yang pada gilirannya dapat
mengembangkan sektor perekonomian, namun tetap memperhatikan pemeliharaan
lingkungan, dan misi kemanusiaan, sehingga mampu menetralisir
ketegangan-ketegangan sosial, dan mampu menjaga kelestarian alam yang tidak
semata menjadi kebutuhan seluruh umat manusia dengan keseimbangan ekosistemnya,
tapi juga akan diwariskan pada generasi mendatang.
4.
Pentingnya Kepemimpinan Yang Demokrasi Pada
Pendidikan Di Indonesia
Praktek kepemimpinan yang demokratis ialah membantu guru –
guru memandang dirinya secara positif, memungkinkan untuk menerima mereka
sendiri dan orang – orang lain serta memberikan kesempatan yang luas untuk
mengidentifikasikan diri dengan teman-teman seprofesinya.Penggunaan metode
kepemimpinan yang demokratis dalam pendidikan memungkinkan guru – guru untuk
membina kelas secara demokratis dengan meletakkan titik berat pada aktifitas
bersama dengan penghargaan akan keperluan, integrasi dan potensi semua anggota
kelas. Kelas yang demikian menyadiakan kesempatan luas untuk memperoleh sukses
dan hasil yang kreatif.Pada era globalisasi ini pendidikan kepemimpinan
hendaknya lebih diperhatikan. Guru – guru yang merasakan suasana kerja yang
demokratis akan mempunyai kecenderungan untuk menciptakan suasana yang sama
dalam kelasnya. Adalah sangat penting untuk secara terus – menerus menganalisis
dan merumuskan kembali nilai – niali demokrasi , sebab hasilnya akan menentukan
masa yang akan datang.
5.
Permasalahan demokrasi pendidikan di Indonesia.
Memasuki abad ke-21 isu tentang
perbaikan sektor pendidikan di Indonesia mulai mencuat ke permukaan. Bahkan
upaya advokasi untuk jalur pendidikan yang dikelola oleh beberapa departemen
teknis, dengan tuntunan social equity sangat kuat, karena semua jenis, jalur
dan jenjang pendidikan merupakan unsur-unsur yang memberikan kontribusi
terhadap rata-rata hasil pendidikan secara nasional. Dengan demikian, kelemahan
proses dan hasil pendidikan dari jalur pendidikan akan mempengaruhi proses
indeks keberhasilan pendidikan
secara keseluruhan.
Bersamaan dengan hal itu, prestasi
pendidikan di Indonesia tertinggal jauh di bawah negara-negara lainnya, baik
dalam aspek angka partisipasi pendidikan, maupun rata-rata lamanya setiap
anak bersekolah. Bahkan dilihat dari indeks SDM, yang salah satu indikatornya
adalah sector pendidikan, posisi Indonesia kian turun dari tahun ke tahun.
Padahal Indonesia kini sudah menjadi bagian dari masyarakat dunia. Lemahnya SDM
hasil pendidikan berdampak pada lambannya Indonesia bangkit dari keterpurukannya
dalam sektor ekonomi yang merosot secara signifikan pada tahun 1998. Hal ini
diakibatkan oleh kekeliruan dalam pembangunan yang berjalan cukup lama pada
masa orde baru yang menekankan pada pembangunan fisik dan kurang memperhatikan
pembinaan sumber daya manusia. Dan hal tersebut berdampak besar terhadap
perkembangan pendidikan.[5]
Globalisasi merambah dunia
pendidikan melalui beberapa bentuk. Pertama, efisiensi dan dan produktifitas
tenaga kerja senantiasa dikaitkan latar belakang pendidikan yang dimiliki.
Kedua, terjadi pergeseran kurikulum yang bersifat child centered atau
subject centered berubah kearah kurikulum yang bersifat
economy-centered vocational training. Ketiga, pendidikan bergeser dari
pelayanan umum menjadi komoditas ekonomi. Akibatnya peran, kemampuan dan
tanggung jawab pemerintah semakin terbatas.
Hal tersebut membentuk pola pikir
materialistic terhadap masyarakat, yang menimbulkan konsekwensi pendidikan
bahwa segala aspek pendidikan akan diarahkan dan difokuskan untuk mengembangkan
pertumbuhan ekonomi sehingga hal-hal yang bersifat noneconomic akan
dikesampingkan. Dan hal ini akan membentuk focus lembaga pendidikan pada client
dan customer yang memiliki arti “donator”. Sehingga lembaga
pendidikan akan senantiasa didikte oleh kekuatan penyandang dana dan tidak lagi
mempersoalkan masalah etika dan pengkajian yang kritis.
Selain itu lembaga-lembaga pendidikan
akan dipegang oleh orang-orang yang mempunyai modal, dan orang-orang yang
kurang mampu akan mendapatkan pendidikan yang ala kadarnya. Dan terciptalah
suatu pandangan bahwa pendidikan milik orang yang berduit. Dapat dilihat dari
Indikasinya, yakni bisnis pendidikan mulai dirasakan. Maraknya pembukaan
program ekstensi atau non-reguler di PTN (Perguruan Tinggi Negeri) ada kecenderungan
untuk memperoleh dana ketimbang untuk demokratisasi pendidikan. Sehingga
pendidikan semakin elitis. Membesarnya pemungutan biaya yang relatif tinggi
tampaknya belum diikuti dengan peningkatan mutu pendidikan. Karena nuansa
bisnisnya semakin menguat, maka orang juga mulai mempertanyakan eksistensi
lembaga pendidikan sebagai lembaga pelayanan publik. Fenomena lain berbagai
gedung pendidikan beralih fungsi menjadi pusat bisnis.
Pendidikan Indonesia telah didominasi
politik yang merupakan akibat adanya transisi politik dari system otoriter ke
system demokrasi. Pendidikan yang semula dikelola secara sentralisasi berubah
kea rah system desentralisasi. Dan kewenangan pengambilan keputusan
didistribusikan ke pemerintah propinsi, pemerintah kota bahkan didistribusikan
lansung ke sekolah. Hal ini diharapkan akan lebih sesuai dengan kebutuhan
sekolah dan dapat meningkatkan proses demokratisasi dengan mendorong
partisipasi masyarakat. Akan tetapi terdapat berbagai hambatan yang terutama
disebabkan oleh kalangan birokrat sendiri yang disebabkan mereka ini tidak
memahami dengan benar hakekat desentralisasi pendidikan.
BAB III
KESIMPULAN
Tujuan pelaksanaan Demokrasi di
sekolah yaitu mendidik anak-anak dan mengantarkan mereka menuju fase
kedewasaan, agar mereka mandiri baik secara psikologis maupun sosial dengan
menitik beratkan pada pengembangan ketrampilan intelektual, keterampilan
pribadi dan sosial.
Pengembangan nilai-nilai demokrasi
di sekolah tidak akan lepas dari peran guru dan kurikulum. Untuk itu hendaknya
guru lebih dahulu memahami tentang nilai-nilai demokrasi agar dapat menggunakan
dan memanfaatkan kurikulum yang berlaku untuk proses pengembangan nilai-nilai
demokrasi.
Pendidikan adalah hak semua anak bangsa, semua
siswa berhak memperoleh keterampilan, dan skill untuk memasuki pasar tenaga
kerja sebagaimana mereka juga berhak untuk memasuki jenjang pendidikan yang
stinggi-tingginya. Untuk itu, lembaga pendidikan harus mempersiapkan para siswa
dengan berbagai pengalaman, wawasan, keterampilan serta basis keilmuan yang
memadai. Sekolah bukanlah sebuah formalitas untuk memiliki ijazah, melainkan
proses penguatan kompetensi.
Daftar pustaka
Azra,
Azumardi. 2002. Paradigma Baru
Pendidikan Nasional.Jakarta:
Rosyada,
Dede. 2004. Paradigma Pendidikan Demokratis.Jakarta:
Prenada Media
Suparno,
Paul. 2004. Guru Demokratis di Era
Reformasi.Jakarta: Gramedia
Tim
Penyusun. 1993. Bahan Penataran P4,
UUD 1945, GBHN.Jakarta: BP-7 Pusat
Tim
Penyusun. 2004. Pendidikan Pancasila
dan Kewarganegaraan. Blitar: Karya Muda
Tim
Penyusun. 2005. Pendidikan Pancasila
dan Kewarganegaraan. Blitar: Karya Muda